30.5.16

Annuqayah


Annuqayah tegap berkibar
Tetaplah sinar menebar

Menepuk-nepuk dada Madura
Di ubun-ubun kota

Ki Syarqawi di keabadian
Terpatri dalam senyuman

Mahkota Guluk-guluk
Kekal dalam peluk

Annuqayah, Annuqayah!
Seabad lebih telah

Berdiri merangkum mimpi
Belai batin para santri

Langitmu menyiram tulus
Jiwa-jiwa nan tandus

Doamu bintang-bintang
Di sanalah kami berenang

Annuqayah, Annuqayah!
Cahaya surga merekah

Kami petik cahaya itu
Kami tanam di gelap kalbu

Dengan cara tunduk-patuh
Di bawah tangan-tangan pengasuh

Annuqayah hamparan laut
Kami berlayar menantang maut

Mana ikan mesti dipilih
Mana mutiara harus diraih

Nyanyian Tuhan teduh mengalun
Bibit puisi tumbuh santun

Kitab kuning berdenting-denting
Organisasi saling membising

Nazaman mengguyur siang-malam
Debat mengoyak-ngoyak alam

Kaligrafi membatik cakrawala
Esai berpetasan di udara

Annuqayah, Annuqayah!
Deraslah barokah, deraslah!

Namamu adalah azimat
Genggam erat agar selamat

Sumenep, 2016.

Catatan:
Puisi ini terpilih sebagai Juara 3 Lomba Cipta Puisi Kategori Umum Festival Sastra (KMSI Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2016).

Sambalewa



1
“Tidak!”
Jangan biarkan kertas-kertas itu bertandang rimbun dalam i’tikaf ini
:kertas yang bertuliskan embun Firdaus dari tinta yang mengekalkan riwayatku
Sebab usia bukanlah pohon yang bisa ditebang menjadi tumbang

Kami menumpang tubuh dalam gubuk air mata
Tak kenal ranjang jika hujan tiba
Bergelimpangan di bawah-bawah.

Kami jelmaan burung dalam sangkar
Begitulah dunia sehari-hari
Tiada cakrawala baru untuk dimaini
Namun banyak manusia mengeluarkan suara
:tempat kami banjir mutiara

Aku senyum dalam derita
Aku tawa dalam sengsara
Aku lunta dalam penjara
Aku tangis dalam surga
Biarlah
Tak mengapa penyakit rindu memperkosa dengan paksa
Pada pulau itu, desa itu, kampung itu, rumah itu, pun penghuninya seluruh yang menggila akan tubuhku
Lantaran aku mendamba turunnya cahaya walau setetes saja
Asal membasahi diriku yang kemarau akan ilmu
Entahlah
Bukan aku peramal dari kandungan Lauh Mahfudz-Nya
Terlebih terus aku berlari mengejar cita sendiri

2
Nak, ingin Bapak katakan padamu. Ini menyangkut masalah biayamu di sini.
Maaf sebelumnya, Nak. Sebaiknya kamu berhenti saja. Bapak sudah tidak mampu bekerja—melawan tua.

Cucuran gerimis meluap nanar
Mata ini sungguh bendung
Bungkuk badan Bapakku mulai hadir
Uang punah di sisinya
Rentalah penyebabnya

(Dina tetap memaku di perantauan itu. Sebab di keluarga dhalem ia bekerja dan ditanggung segala biaya. Tak ingin sangat ia berhenti)

3
Nak, ingin Bapak katakan padamu. Ini menyangkut masalah keluarga kita.
Maaf sebelumnya, Nak. Sebaiknya kamu berhenti saja. Bapak sudah tidak mampu menyendiri—melawan sepi.

Hujan kembali menyentuh
Pipi ini subur sekali
Sunyi wajah Bapakku telah hadir
Istri sirna di pelukannya
Mautlah pengambilnya

(Dina tetap memaku di perantauan itu. Sebab pendidikannya masih tinggal setahun setengah.
Tak ingin sangat ia berhenti)

4
Pulanglah, Sayang, sebelum matahari memanggil wanita kedua
Lama tak kujumpa, ini rindu makin berbunga. Berhentilah, Sayang, demi cinta kita.

Petir menyambar ke lautan kalbu
Napas ini hampir lupa menjalankan tugas
Tak boleh wanita lain menidurinya
Akulah penguasa dari semua kehangatannya

(Dina mengajak kakinya melangkah dari perantauan itu. Sebab keeratan cintanya begitu memikat.
Tak ingin sangat ia ditinggal kekasih tersayang)

Sumenep, 2012.

Catatan:
Puisi ini terpilih sebagai Juara 1 Lomba Menulis Puisi Antar Pondok Pesantren Se-Jawa Timur (PP. Sidogiri, Pasuruan 2013).

Elegi untuk Iza



Za…
Ada sesal di sini
ketika ruh kita tak saling bercumbu lagi
dalam persaudaraan yang sengaja kita cicipi
setelah dicipta sendiri

Aku menyesal tak bisa menyatukan suaraku dengan kemerduanmu
bahkan dunia tak seperti biasa merelakan kita untuk bertemu
sama halnya kepedihan kumbang yang menangis kehilangan madu
menetaskan sembilu di setiap belaian bulan dan matahariku

Za…
Ada sepi di hatiku
saat kudamba tubuhmu yang kini sudah sempurna menjadi batu
dalam kebencian yang menetap di sudut-sudut langkahmu
pada kekhilafanku yang sebenarnya terpaksa harus menyebutmu musuh dalam ragu

Aku sepi tak bisa memanggil nama indah yang kau kenakan
sampai akhirnya kudapati sebuah petang dan secangkir kesunyian
begitulah kesendirianku yang tambah hari semakin ditimbun sangsai
segala tawa diam-diam dihanyut sungai

Za…
Ada mimpi dalam jiwa
setelah kusadari betapa bangkainya perpisahan di antara kita
cerai sapa, cerai setia, tak dapat menghilangkan prahara seperti yang kukira
melainkan aku terbius pada gulita atau terbunuh di ruang hampa

Aku bermimpi untuk menyatakan doa yang telah kupersiapkan
tentang kata maaf semisal permohonan ampun dari hamba kepada Tuhan
agar hati kita berdekap kembali dalam kedamaian
lalu bersama-sama dengan keindahan menuju sebuah keabadian

Ternyata, Za…
mengusir ronamu adalah rindu
melekat dalam nafasku
menyihirku menjadi kaku dan lugu
maka kabulkanlah!
kau masih ingin memelukku, bukan?
aku salah kuakui sudah
semoga kau bisa mengamininya kemudian

Sumenep, 2013.

Catatan:
Puisi ini terpilih sebagai Juara 1 Lomba Cipta Puisi Spontan Tingkat Umum Se-Kabupaten Sumenep (PP. Agung Damar, Pragaan 2013).