8.8.16

Kejujuran yang Kupendam Dalam-dalam Supaya Kamu Benar-benar Percaya atas Kepura-puraanku


Ini kamar mencari-cari desah tulangmu
Ini kasur memanggil-manggil basah kulitmu
Musim apakah yang mau mengembalikanmu?
Sementara hujan dilahap pengkhianatan
Kemarau ditelan kebencian
Namun almanak masih bermimpi merayakan ulang tahun perkelahian bibir kita
Lidah kita
Ludah kita

Gelas-gelas berdebu betapa ingin kabur dari pengap lemari
Ingin mandi lalu di tubuhmu disimpan rapi
Tapi angin manakah yang mau mengembalikanmu?
Segala jendela segala pintu telanjur tertipu
Maka tertutuplah
Kecuali kamu menjadi semut melewati celah
Bukan semut merah
Tidak semut hitam

Bertahun-tahun galon kosong persis dengan sebulan kesepianku
Sama perihnya merindukan isi ulang
Meski bagaimanapun tak ada angin bahkan musim yang mau membawamu kembali
Apalagi rumahmu kini jauh lebih menawan
Genting dan lantai berlian
Cuman sangat iba aku pada aroma peluhmu
Di seprai ini
Di sajak ini

Sumenep, 2016.


Catatan:
Puisi ini terpilih sebagai 10 Besar Terbaik Sayembara Cipta Puisi Nasional (Sigi Media, Bandung 2016).

30.5.16

Annuqayah


Annuqayah tegap berkibar
Tetaplah sinar menebar

Menepuk-nepuk dada Madura
Di ubun-ubun kota

Ki Syarqawi di keabadian
Terpatri dalam senyuman

Mahkota Guluk-guluk
Kekal dalam peluk

Annuqayah, Annuqayah!
Seabad lebih telah

Berdiri merangkum mimpi
Belai batin para santri

Langitmu menyiram tulus
Jiwa-jiwa nan tandus

Doamu bintang-bintang
Di sanalah kami berenang

Annuqayah, Annuqayah!
Cahaya surga merekah

Kami petik cahaya itu
Kami tanam di gelap kalbu

Dengan cara tunduk-patuh
Di bawah tangan-tangan pengasuh

Annuqayah hamparan laut
Kami berlayar menantang maut

Mana ikan mesti dipilih
Mana mutiara harus diraih

Nyanyian Tuhan teduh mengalun
Bibit puisi tumbuh santun

Kitab kuning berdenting-denting
Organisasi saling membising

Nazaman mengguyur siang-malam
Debat mengoyak-ngoyak alam

Kaligrafi membatik cakrawala
Esai berpetasan di udara

Annuqayah, Annuqayah!
Deraslah barokah, deraslah!

Namamu adalah azimat
Genggam erat agar selamat

Sumenep, 2016.

Catatan:
Puisi ini terpilih sebagai Juara 3 Lomba Cipta Puisi Kategori Umum Festival Sastra (KMSI Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2016).

Sambalewa



1
“Tidak!”
Jangan biarkan kertas-kertas itu bertandang rimbun dalam i’tikaf ini
:kertas yang bertuliskan embun Firdaus dari tinta yang mengekalkan riwayatku
Sebab usia bukanlah pohon yang bisa ditebang menjadi tumbang

Kami menumpang tubuh dalam gubuk air mata
Tak kenal ranjang jika hujan tiba
Bergelimpangan di bawah-bawah.

Kami jelmaan burung dalam sangkar
Begitulah dunia sehari-hari
Tiada cakrawala baru untuk dimaini
Namun banyak manusia mengeluarkan suara
:tempat kami banjir mutiara

Aku senyum dalam derita
Aku tawa dalam sengsara
Aku lunta dalam penjara
Aku tangis dalam surga
Biarlah
Tak mengapa penyakit rindu memperkosa dengan paksa
Pada pulau itu, desa itu, kampung itu, rumah itu, pun penghuninya seluruh yang menggila akan tubuhku
Lantaran aku mendamba turunnya cahaya walau setetes saja
Asal membasahi diriku yang kemarau akan ilmu
Entahlah
Bukan aku peramal dari kandungan Lauh Mahfudz-Nya
Terlebih terus aku berlari mengejar cita sendiri

2
Nak, ingin Bapak katakan padamu. Ini menyangkut masalah biayamu di sini.
Maaf sebelumnya, Nak. Sebaiknya kamu berhenti saja. Bapak sudah tidak mampu bekerja—melawan tua.

Cucuran gerimis meluap nanar
Mata ini sungguh bendung
Bungkuk badan Bapakku mulai hadir
Uang punah di sisinya
Rentalah penyebabnya

(Dina tetap memaku di perantauan itu. Sebab di keluarga dhalem ia bekerja dan ditanggung segala biaya. Tak ingin sangat ia berhenti)

3
Nak, ingin Bapak katakan padamu. Ini menyangkut masalah keluarga kita.
Maaf sebelumnya, Nak. Sebaiknya kamu berhenti saja. Bapak sudah tidak mampu menyendiri—melawan sepi.

Hujan kembali menyentuh
Pipi ini subur sekali
Sunyi wajah Bapakku telah hadir
Istri sirna di pelukannya
Mautlah pengambilnya

(Dina tetap memaku di perantauan itu. Sebab pendidikannya masih tinggal setahun setengah.
Tak ingin sangat ia berhenti)

4
Pulanglah, Sayang, sebelum matahari memanggil wanita kedua
Lama tak kujumpa, ini rindu makin berbunga. Berhentilah, Sayang, demi cinta kita.

Petir menyambar ke lautan kalbu
Napas ini hampir lupa menjalankan tugas
Tak boleh wanita lain menidurinya
Akulah penguasa dari semua kehangatannya

(Dina mengajak kakinya melangkah dari perantauan itu. Sebab keeratan cintanya begitu memikat.
Tak ingin sangat ia ditinggal kekasih tersayang)

Sumenep, 2012.

Catatan:
Puisi ini terpilih sebagai Juara 1 Lomba Menulis Puisi Antar Pondok Pesantren Se-Jawa Timur (PP. Sidogiri, Pasuruan 2013).