seringkali agustus mengutus angin beginian
raga dan jiwa bertukar gemetar kedinginan
mungkinkah alam paham bahwa kita
sedang asyik-asyiknya menyambut hari kemerdekaan
yang sesungguhnya sekadar ikut-ikutan?
bendera merah darah putih nanah mulai dikibarkan
di balai desa di kantor kecamatan
tempat bisik-bisik raskin bercurahan
di gedung-gedung pongah
tempat belajar mengincar perawan dan mengejar
kehormatan
menantang panas anak-anak melaksanakan gerak jalan
maju terus tanpa lurus laju tujuan
di media ucapan ‘dirgahayu’
bagai letusan kembang api menebar rasa kekaguman
walaupun tiada yang patut dibanggakan
sejenak kita tatap wajah perantauan
saudara kita tak ubahnya kaum perbudakan
di negeri asing keruh air mata berceceran
di ibu kota amis peluh mengucur sepanjang bilur
pengorbanan
rindu rumah sesak tertahan
rindu akan kekayaan melampaui batas segala angan
di negeri sendiri cukuplah yang berdasi gonta-ganti
kendaraan
cukup artis televisi yang mukanya kilau bak kerling
berlian
memang semua beda bagian
tetapi di sini susah-payah beberapa kali lipat
untuk menjumpa lowongan
kecuali punya dalang ingusan
tak heran pemulung dan pengamen
bahkan pengemis berbaris manis di tepian
di desa pelaut-petani semakin gelisah tak karuan
hendak kemana sisa sampan yang belum terjual menuntut
ikan
sementara ikan-ikan sembunyi di balik karang cemas
sekian bulan
barangkali karena takut senasib kawanannya digempur
ledakan
mau diapakan sisa lahan yang belum terjual di hari
kemudian
jika muda-mudi tak betah di kampung halaman
tak ingin akrab dengan rumput dan kotoran
ah! sudahlah
mari lupakan itu semua dengan nyanyian
menjelang dirayakannya kebohongan:
kita duduk berpeluk kemelut
tak kuasa
memanggul marut
daratan pengap laut menguap
jalan masa depan alangkah gelap
pada pohon tebang bumi berjanji
dendam maut pasti terlunasi
burung-burung menagih keadilan
namun tekun cipta perselisihan
perkosa pun korupsi mengamuk
hancur moral impian ambruk
siapa tak pandai umbar cinta
akan semesta akan sebangsa
tapi negeri tak butuh bau ilusi
seangit asap pabrik saban hari
kursi dan tikar tiada akur
masih bertanya di mana makmur
di desa tanah harapan dijual
di kota hotel & kantor saling jejal
lamat-lamat musuh menyerbu
banjir darah menggenang haru
air mata menyiram kemarau
jerit hutan semakin parau
tercenung abai semurung sungai
sedang badai datang ramai-ramai
suku dan adat yang berbeda
sulanglah dalam rindu yang sama
bersatu memadamkan debar
segala kesah hanguslah terbakar
Sumenep 2017
Catatan:
Puisi ini terpilih sebagai salah satu dari 15 Puisi Favorit dalam Lomba Menulis Puisi 'Untuk Indonesia' (DPP Partai Demokrat, Kepulauan Riau 2017).