10.9.17

Berpeluk Kemelut


seringkali agustus mengutus angin beginian
raga dan jiwa bertukar gemetar kedinginan
mungkinkah alam paham bahwa kita
sedang asyik-asyiknya menyambut hari kemerdekaan
yang sesungguhnya sekadar ikut-ikutan?

bendera merah darah putih nanah mulai dikibarkan
di balai desa di kantor kecamatan
tempat bisik-bisik raskin bercurahan
di gedung-gedung pongah
tempat belajar mengincar perawan dan mengejar kehormatan

menantang panas anak-anak melaksanakan gerak jalan
maju terus tanpa lurus laju tujuan
di media ucapan ‘dirgahayu’
bagai letusan kembang api menebar rasa kekaguman
walaupun tiada yang patut dibanggakan

sejenak kita tatap wajah perantauan
saudara kita tak ubahnya kaum perbudakan
di negeri asing keruh air mata berceceran
di ibu kota amis peluh mengucur sepanjang bilur pengorbanan
rindu rumah sesak tertahan
rindu akan kekayaan melampaui batas segala angan

di negeri sendiri cukuplah yang berdasi gonta-ganti kendaraan
cukup artis televisi yang mukanya kilau bak kerling berlian
memang semua beda bagian
tetapi di sini susah-payah beberapa kali lipat
untuk menjumpa lowongan
kecuali punya dalang ingusan
tak heran pemulung dan pengamen
bahkan pengemis berbaris manis di tepian

di desa pelaut-petani semakin gelisah tak karuan
hendak kemana sisa sampan yang belum terjual menuntut ikan
sementara ikan-ikan sembunyi di balik karang cemas sekian bulan
barangkali karena takut senasib kawanannya digempur ledakan
mau diapakan sisa lahan yang belum terjual di hari kemudian
jika muda-mudi tak betah di kampung halaman
tak ingin akrab dengan rumput dan kotoran

ah! sudahlah
mari lupakan itu semua dengan nyanyian
menjelang dirayakannya kebohongan:

kita duduk berpeluk kemelut
tak kuasa memanggul marut
daratan pengap laut menguap
jalan masa depan alangkah gelap

pada pohon tebang bumi berjanji
dendam maut pasti terlunasi
burung-burung menagih keadilan
namun tekun cipta perselisihan

perkosa pun korupsi mengamuk
hancur moral impian ambruk
siapa tak pandai umbar cinta
akan semesta akan sebangsa

tapi negeri tak butuh bau ilusi
seangit asap pabrik saban hari
kursi dan tikar tiada akur
masih bertanya di mana makmur

di desa tanah harapan dijual
di kota hotel & kantor saling jejal
lamat-lamat musuh menyerbu
banjir darah menggenang haru

air mata menyiram kemarau
jerit hutan semakin parau
tercenung abai semurung sungai
sedang badai datang ramai-ramai

suku dan adat yang berbeda
sulanglah dalam rindu yang sama
bersatu memadamkan debar
segala kesah hanguslah terbakar

Sumenep 2017

Catatan:
Puisi ini terpilih sebagai salah satu dari 15 Puisi Favorit dalam Lomba Menulis Puisi 'Untuk Indonesia' (DPP Partai Demokrat, Kepulauan Riau 2017).

Malam Pengampunan


di kaki magrib
sepakat kita terbangkan
yasin tiga kali kepakan
sebelum memanah hidung purnama
dengan tiga semburat doa

pertama kita ingin
diulur-ulur garis umur
di mana dapat kita warnai
sepanjang bentang garis itu
melalui tinta ketakwaan
selalu ingat bahwa menyia-nyiakan
hakikat sehat-sempat adalah
kerugian yang mengabadi
selalu ingat bahwa sakit
tak ubahnya kefakiran paling terjal
dan maut umpama ini malam dicabut
seluruh udara segala cahaya
sedang di gelap di pengap nanti
kita menangis serupa bayi
tanpa seorangpun peduli menyusui

kedua mengharap rinai
rezeki nan jernih agar dideraskan
menggenangi sepasang ceruk tangan
supaya senantiasa meluap-luap
gejolak ibadah sekalipun
dalam himpitan lubang berdarah
namun terkadang kita terlalu dungu
menata waktu
menyempitkan ruang sujud atau
menggusurnya demi gemerlap rupiah
cara terampuh merengkuh penderitaan
buta jiwa buta arah
jasad lupa lahad
ke mana ruh
hendak berlabuh

ketiga mohon akar-akar
keimanan dikekarkan
batang hayat yang semakin pucat
tak mudah goyah
diterjang gulungan badai
tak mudah patah rerantingnya
tak mudah lurut daun-daunnya
karena musuh yang menyamar
kekasih kita tidak akan pernah luluh
menyerbu dari berbagai penjuru
membawa racun
dalam seribu cangkir madu
sementara kita selalu merasa berjalan
di padang gersang dan tandus
merasa haus tiada putus

Sumenep 11 Mei 2017

Catatan:
Puisi ini terpilih sebagai Puisi Pilihan Utama Poetry Prairie Literature Journal 6 dengan tema 'Pengampunan' (2017). 

8.8.16

Kejujuran yang Kupendam Dalam-dalam Supaya Kamu Benar-benar Percaya atas Kepura-puraanku


Ini kamar mencari-cari desah tulangmu
Ini kasur memanggil-manggil basah kulitmu
Musim apakah yang mau mengembalikanmu?
Sementara hujan dilahap pengkhianatan
Kemarau ditelan kebencian
Namun almanak masih bermimpi merayakan ulang tahun perkelahian bibir kita
Lidah kita
Ludah kita

Gelas-gelas berdebu betapa ingin kabur dari pengap lemari
Ingin mandi lalu di tubuhmu disimpan rapi
Tapi angin manakah yang mau mengembalikanmu?
Segala jendela segala pintu telanjur tertipu
Maka tertutuplah
Kecuali kamu menjadi semut melewati celah
Bukan semut merah
Tidak semut hitam

Bertahun-tahun galon kosong persis dengan sebulan kesepianku
Sama perihnya merindukan isi ulang
Meski bagaimanapun tak ada angin bahkan musim yang mau membawamu kembali
Apalagi rumahmu kini jauh lebih menawan
Genting dan lantai berlian
Cuman sangat iba aku pada aroma peluhmu
Di seprai ini
Di sajak ini

Sumenep, 2016.


Catatan:
Puisi ini terpilih sebagai 10 Besar Terbaik Sayembara Cipta Puisi Nasional (Sigi Media, Bandung 2016).